Semua Lagu di Album Man’s Best Friend Sabrina Carpenter, Diurutkan dari Awal hingga Akhir

74
Sumber: gettyimages

Sedikit yang menyangka bahwa Sabrina Carpenter akan secepat ini menghadirkan karya baru. Enam hari setelah genap satu tahun sejak merilis Short n’ Sweet, ia hadir kembali melalui album terbarunya berjudul Man’s Best Friend.

Album sebelumnya menjadi tonggak penting dalam kariernya: tidak hanya mengukuhkannya sebagai penampil utama di arena besar, tetapi juga menghasilkan pencapaian signifikan berupa singel nomor satu, kemenangan Grammy, serta empat lagu yang merajai siaran radio. Short n’ Sweet menandai transisi Carpenter dari sekadar bintang muda berbakat menjadi sosok entertainer matang dengan daya tarik luas. Kini, melalui Man’s Best Friend, ia terlihat berusaha menegaskan jati diri musikalnya sekaligus memperkokoh posisinya dalam peta industri pop global. Album Man’s Best Friend muncul sebagai kelanjutan wajar dari keberhasilan Short n’ Sweet, tetapi menawarkan warna yang lebih berani sekaligus jenaka.

Dari sisi musikal, Carpenter mengeksplorasi perpaduan pop, disco, funk, hingga sentuhan R&B, menunjukkan bahwa ia tidak terjebak pada satu formula. Strategi ini menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang lebih dewasa, seakan ia ingin menegaskan bahwa pencapaian sebelumnya bukan kebetulan, melainkan hasil dari proses artistik yang konsisten dan terus berkembang.

Sumber: gettyimages

Secara lirik, Man’s Best Friend menawarkan narasi yang lugas dan penuh humor. Carpenter mengangkat tema hubungan modern, dengan menitikberatkan pada dinamika antara perempuan dan laki-laki yang sering diwarnai oleh kerentanan, mispersepsi, serta kritik terhadap pola maskulinitas yang beracun. Lagu seperti Manchild dan Tears menjadi contoh bagaimana ia mengemas isu serius dengan gaya satir yang ringan, sehingga mudah diterima pendengar luas tanpa kehilangan kedalaman makna.

Selain itu, album ini menegaskan posisi Carpenter sebagai musisi yang piawai menghubungkan pengalaman personal dengan isu-isu yang memiliki relevansi publik. Ia tidak sekadar menyuarakan kisah pribadinya, tetapi juga merefleksikan fenomena sosial yang akrab dengan generasinya. Dengan begitu, Man’s Best Friend bukan sekadar produk hiburan, melainkan cermin dari dinamika budaya pop saat ini penuh ironi, cepat berubah, tetapi tetap sarat emosi manusiawi.

Setiap lagu dalam album Man’s Best Friend hadir dengan karakter dan cerita yang berbeda, namun tetap terhubung dalam narasi besar yang ingin disampaikan Carpenter.
Berikut adalah ulasan mendetail dari 12 lagu tersebut.

  • Manchild

Sebagai singel utama sekaligus trek pembuka dalam Man’s Best Friend, “Manchild” mencerminkan peningkatan popularitas yang terus bertumbuh sejak pertama kali dirilis. Setelah diputar berulang kali, lapisan kompleksitas lagu ini semakin terasa mulai dari penempatan ketukan pada bagian pra-chorus hingga kekuatan vokal yang menonjol di paruh akhir bridge. Manchild memang langsung melesat ke posisi No. 1 sebagai anthem pop terbaru Sabrina Carpenter, namun justru detail-detail musikal inilah yang membuatnya bertahan lama di tangga lagu dan memperkuat peranannya sebagai pembuka album yang impresif.

  • Tears

Dengan sentuhan satir, Carpenter menyingkap betapa rendahnya standar yang kerap mendominasi hubungan masa kini. “Remembering how to use your phone gets me oh so, oh so, hot!” serunya, sembari menyebut aktivitas sehari-hari seperti mencuci piring, merakit furnitur IKEA, hingga mengakui bahwa sedikit empati bisa menjadi afrodisiak terbaik. Tears, yang dirilis sebagai singel kedua album ini, bekerja di dua lapisan khas gaya Carpenter: di satu sisi, produksi bernuansa disko dengan irama mengalun dan vokal penuh improvisasi lagu ini menghadirkan pop yang mudah diingat, namun di balik melodinya terselip kritik sarkastis terhadap gagasan kesatriaan modern. Perpaduan ini membuat Tears bukan sekadar lagu dansa, tetapi juga komentar sosial yang cerdas. Dalam era yang merindukan humor segar dalam musik pop, Carpenter mampu menjawab kebutuhan itu dengan brilian.

  • My Man on Willpower

Dalam My Man on Willpower, Carpenter menggambarkan kebingungannya menghadapi pria yang semula terobsesi padanya, namun kini sibuk mencari jati diri hingga segala upayanya untuk menarik perhatian tak berhasil. “My slutty pajamas not tempting him in the least,” keluhnya. Lagu ini menampilkan salah satu performa vokal Carpenter yang paling berlapis dalam album, hasil kolaborasinya bersama Antonoff dan Ryan. Melalui aransemen bernuansa country yang ringan dengan irama tepukan tangan, Carpenter mahir memadukan alunan lembut dengan punchline yang cerdas, menjaga agar kesan jenaka tetap selaras tanpa mengurangi ketulusan emosional yang menyertainya.

  • Sugar Talking

Dalam Sugar Talking, Carpenter menyingkap lapisan kepura-puraan yang sering muncul dalam hubungan. “Save your money / “and stop making me cry-y-y-y!,” nyanyinya, tepat ketika aransemen musik mereda dan vokalnya terdengar berlapis pada bagian akhir bait tersebut. Lagu ini menghadirkan alur yang indah sekaligus sarat luka, diperkaya dengan petikan gitar yang melankolis. Secara tematis, Sugar Talking menjadi seruan untuk menggantikan hadiah dan pesan permintaan maaf dengan interaksi tatap muka yang lebih tulus. Sebagai trek keempat dalam album, lagu ini berfungsi sebagai penyeimbang setelah tiga nomor pop awal yang lebih ceria, sekaligus menampilkan sisi reflektif Carpenter saat mengulas kompleksitas hubungan romantis. Berkat kekuatan melodinya, lagu ini juga berpeluang besar menjadi pilihan populer di ruang karaoke.

  • We Almost Broke Up Again Last Night

We Almost Broke Up Again Last Night menghadirkan perpaduan pengaruh yang unik. Lagu ini diawali dengan petikan gitar akustik dan vokal lembut, lalu bertransformasi menjadi bubblegum pop penuh semangat dengan vokal yang melambung tinggi. Dalam pergeseran tersebut, Carpenter sukses memadukan nuansa melankolis ala Lana Del Rey dengan keceriaan ikonis Britney Spears. Keunggulannya sebagai penyanyi sekaligus penulis lagu paling menonjol pada bagian bridge, ketika ia merangkum inti cerita hanya dalam empat baris tegas: “You say we’re drifting apart / I said, ‘Yeah, I f–king know’ / Big deal, we’ve been before / And we’ll be here tomorrow.

  • ”Nobody’s Son

Tidak mengherankan bila Carpenter memadukan salah satu aransemen paling energik di Man’s Best Friend dengan narasi paling melankolis tentang keputusasaan cinta. Strategi ini merupakan bagian dari pendekatan pop subversif yang ia usung: menghadirkan musik yang mampu mengajak pendengar untuk menari, namun pada saat yang sama juga membuat mereka larut dalam kesedihan. Nobody’s Son menampilkan kontras tajam antara lirik yang penuh luka tentang tangisan di tempat tidur, pupusnya harapan, hingga kekecewaan terhadap ibu sang pasangan (“Could you raise him to love me, maybe?”) dengan balutan produksi mewah berupa lapisan synth, dentuman kick drum yang bergema, dan gesekan senar yang elegan. Keharmonisan aransemen yang indah justru memperdalam ironi dan menajamkan rasa sakit yang dikisahkan lagu ini.

  • Never Getting Laid

Judul Never Getting Laid mungkin memberi kesan bahwa Carpenter akan meratapi kehidupan seksnya yang mandek setelah putus cinta. Namun, lagu ini justru membalikkan ekspektasi: ia dengan gamblang berharap sang mantan hidup dalam selibat. Lagu ini dibuka dengan aransemen lounge bernuansa dreamy, menampilkan vokal yang tenang sebelum perlahan meningkat menuju ledakan emosi yang memperlihatkan perpaduan antara amarah dan kebingungan. Alih-alih menutup lagu secara konvensional, Carpenter menambahkan koda pada menit ketiga, menekankan baris klimaks “And abstinence is just a state of mind”. Bagian ini diprediksi akan menjadi momen sorotan dalam setiap penampilan langsungnya.

  • When Did You Get Hot?

Sebagai sekuel spiritual dari Good Graces dalam Short n’ Sweet, When Did You Get Hot? menyoroti fenomena glow-up dengan balutan R&B yang halus: perkusi lembut dan vokal latar “uh-huh, uh-HUH” menjadi latar kisah tentang seseorang yang dulu dianggap biasa saja, kini berubah menjadi sosok menawan. Carpenter menyelipkan humor dan kepribadian lewat deretan one-liner cerdas, sekaligus menghadirkan sisi genit yang ringan. Menempatkan lagu ini setelah Nobody’s Son dan Never Getting Laid terasa sebagai keputusan yang strategis, karena memberi ruang optimisme setelah rangkaian narasi patah hati yang sarat luka.

  • Go Go Juice

“A girl who knows her liquor is a girl who’s been dumped” tulis Carpenter dalam Go Go Juice sebuah pepatah instan yang merangkum semangat lagu ini. Liriknya menggambarkan pelarian lewat minuman hingga titik mabuk, di mana setiap keputusan buruk dalam daftar kontak terasa pantas untuk dihubungi. Meski tema lagunya pahit, energi Go Go Juice justru ceria dan penuh semangat khas Carpenter. Breakdown instrumental yang panjang, berpindah dari alunan biola hingga vokal geng yang riuh, menghadirkan nuansa yang mengingatkan pada energi panggung Bleachers, band milik Jack Antonoff yang turut berperan sebagai produser album ini.

  • Don’t Worry I’ll Make You Worry

Membaca lirik “Don’t Worry I’ll Make You Worry” awalnya terasa seperti ajakan main-main, dengan Carpenter menari ringan di sekitar seorang pria yang jelas tak mampu mengimbanginya. Namun, bukannya dikemas sebagai lagu pop cepat dan ceria, Carpenter justru menghadirkannya dalam balutan aransemen melankolis dengan nuansa lembut, seakan menyadari ketimpangan yang ada dalam dinamika hubungan tersebut. Hasilnya, lagu ini tampil sebagai salah satu kejutan di bagian akhir album penutup yang manis sekaligus getir, dipertegas oleh harmoni vokal sarat kerinduan yang menyatukan seluruh emosi pada bagian jembatan lagu.

  • House Tour

Saat Carpenter melantunkan “I promise none of this is a metaphor” di “House Tour”, ia justru menyalahi pernyataannya sendiri. Lagu synth-pop dengan tempo cepat ini sarat akan permainan sindiran dan gestur jenaka, menjelma menjadi humor yang menggoda sekaligus sebuah eksplorasi nostalgia era ’80-an yang dieksekusi dengan apik. Seiring produksi bergeser ke nuansa retro, Carpenter dengan gesit memainkan hook dan one-liner, melontarkan gurauan tentang lantai berlilin dan pintu belakang tanpa kehilangan kilau pop yang memikat. Tak ada bintang pop lain yang mampu menghadirkan “House Tour” dengan cara seunik ini, menjadikannya kandidat kuat sebagai lagu favorit penggemar di masa depan.

  • Goodbye

Carpenter tersakiti di “Goodbye”, dan rasa pahit itu meledak saat ia menghadapi mantan yang masih berusaha bertingkah seolah teman. “Can’t call it love, then call it quits / Can’t shoot me down, then shoot the s–t,” keluhnya dengan tajam. Namun, alih-alih menyembunyikan rasa perih tersebut, ia justru menyalakannya dengan terang melalui aransemen big band yang semarak, dipenuhi tiupan terompet yang menggelegar serta harmoni vokal yang mengalir penuh energi. Hasilnya, “Goodbye” menjelma menjadi pesta dendam terbuka sebuah katarsis musikal sekaligus penutup yang sempurna untuk Man’s Best Friend.