Pada malam Jumat, 10 Oktober 2025, penyanyi muda Chappell Roan menarik perhatian publik tidak hanya lewat penampilannya yang memukau di atas panggung, tetapi juga melalui pernyataan kontroversial yang ia lontarkan di tengah konsernya di Rose Bowl, Pasadena, California.
Di sela-sela pertunjukan, Roan secara lantang menyerukan kalimat “F— ICE forever”, yang seketika memicu reaksi luas dan menjadi viral di berbagai platform media sosial. Banyak penggemar mengunggah momen tersebut ke X (Twitter), TikTok, hingga Instagram, membuat namanya trending dalam hitungan jam. Reaksi publik pun datang deras, ada yang mendukung keberaniannya berbicara soal isu sosial, namun tak sedikit pula yang mengecam ucapan tersebut karena dianggap tidak pantas diucapkan di atas panggung hiburan.
Menariknya, kontroversi ini semakin besar ketika Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (Homeland Security/DHS) ikut memberikan tanggapan resmi. Melalui juru bicaranya, lembaga itu menyebut Roan perlu “get a grip” atau “lebih tenang dan realistis”, menandai babak baru dalam perdebatan antara kebebasan berekspresi seniman dan batas wajar kritik terhadap institusi negara.
Buat kamu yang mungkin baru mendengar namanya, Chappell Roan adalah salah satu wajah paling segar dan orisinal di dunia musik pop alternatif Amerika. Lahir di Missouri, penyanyi sekaligus penulis lagu ini membawa energi baru ke industri dengan perpaduan antara vokal kuat, karakter teatrikal, dan gaya visual eksentrik yang sulit dilewatkan.

Ia sering tampil dengan kostum berwarna cerah, tata rias yang berani, serta koreografi yang memadukan unsur drama dan humor menciptakan identitas artistik yang tak bisa disamakan dengan penyanyi pop lainnya.
Nama Chappell mulai benar-benar mencuat lewat lagu “Pink Pony Club”, yang dirilis pada 2020 dan kemudian viral sebagai anthem queer joy. Lagu ini menjadi semacam simbol kebebasan dan penerimaan diri, terutama bagi komunitas LGBTQ+, yang melihatnya sebagai perayaan akan cinta dan ekspresi yang tanpa batas.
Dari momen itu, Roan terus membangun reputasinya sebagai musisi yang otentik dan berani menampilkan sisi dirinya yang sebenarnya. Single seperti “Casual”, “HOT TO GO!”, dan lagu-lagu dari album debutnya memperlihatkan perkembangan musikal yang matang: perpaduan synth-pop yang catchy, lirik introspektif, dan sentuhan humor khas Chappell yang membuatnya berbeda dari bintang pop mainstream.
Namun, di balik nuansa menyenangkan dan warna-warni yang ia tampilkan, Chappell Roan juga dikenal karena keberaniannya berbicara lantang tentang isu sosial dan politik. Dalam berbagai wawancara dan unggahan media sosialnya, ia tidak ragu menyinggung tema-tema seperti feminisme, hak queer, tekanan dalam industri musik, hingga pandangan pribadinya tentang kebebasan berekspresi.
Gaya bicaranya yang apa adanya membuat banyak penggemar merasa dekat dan terwakili. Maka, ketika Roan mengucapkan “F—ICE” di tengah konsernya, sebagian besar penggemar justru menganggap itu sebagai bentuk konsistensi bukan sekadar ledakan emosi sesaat. Baginya, musik dan aktivisme adalah dua hal yang bisa berjalan berdampingan, dan panggung adalah ruang sah untuk menyuarakan apa yang diyakini.
Malam itu, suasana di Rose Bowl, Pasadena, begitu meriah. Chappell Roan tampil di hadapan puluhan ribu penonton sebagai bagian dari tur bertajuk Visions of Damsels & Other Dangerous Things. Di tengah setlist yang penuh energi dan teatrikal, Roan tiba di momen emosional setelah membawakan lagu “My Kink Is Karma”.
Ia berhenti sejenak, menatap ke arah penonton dengan ekspresi serius, lalu melontarkan kalimat yang segera mengguncang dunia maya: “F* ICE forever”. Ucapan itu langsung disambut sorakan dan tepuk tangan meriah dari para penggemar yang memenuhi stadion. Namun, di balik euforia itu, bagi sebagian orang, pernyataan Roan bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan pernyataan politik terbuka terhadap lembaga pemerintah yang kerap menuai kontroversi di Amerika Serikat.

Beberapa jam setelah konser, dunia maya pun meledak. Cuplikan video yang menampilkan momen tersebut menyebar cepat di X (Twitter), TikTok, dan Instagram, menjadikan tagar #ChappellRoan dan #FckICE trending di berbagai negara. Banyak penggemar memberikan dukungan terbuka, menilai keberanian Roan sebagai bentuk kejujuran dan empati terhadap isu kemanusiaan.
Komentar seperti “She’s brave. She said what everyone’s thinking!” atau “We love an outspoken queen!” membanjiri media sosial. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang mengkritiknya keras. Beberapa warganet menyebut tindakan Roan sebagai “tidak sopan”, “tidak pantas diucapkan di panggung hiburan”, bahkan “berbahaya secara politik” karena bisa menimbulkan ketegangan antara dunia hiburan dan institusi negara.
Kontroversi itu semakin membesar ketika Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) atau Homeland Security akhirnya memberikan tanggapan resmi. Melalui Tricia McLaughlin, Asisten Sekretaris untuk Hubungan Publik, DHS menyampaikan pernyataan kepada media besar seperti Billboard dan Complex. McLaughlin berkata, “Pink Pony Club is good. Pedophiles are bad. That’s who we’re getting off of our streets. Get a grip”. (Pink Pony Club bagus. Pedofil itu buruk. Itulah orang-orang yang kami singkirkan dari jalanan. Tenangkan diri.)
Kalimat tersebut sontak menimbulkan gelombang perdebatan baru. Sebagian publik menilai DHS bersikap terlalu defensif dan meremehkan, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk pembelaan terhadap tugas lembaga tersebut. Tak sedikit juga yang menilai pernyataan itu memperlihatkan ketegangan mendasar antara seniman dan lembaga negara di era digital, ketika setiap ucapan publik bisa dengan cepat berubah menjadi simbol politik atau perlawanan sosial.
Untuk memahami besarnya reaksi, kita perlu tahu konteks: ICE alias Immigration and Customs Enforcement adalah lembaga di bawah DHS yang bertanggung jawab atas penegakan hukum imigrasi.
Selama bertahun-tahun, ICE menjadi simbol perdebatan sengit di Amerika. Lembaga ini sering dikritik karena kebijakan deportasi massal, penahanan imigran tanpa catatan kriminal, dan kasus pemisahan keluarga di perbatasan AS–Meksiko.
Bagi sebagian orang, seruan “F— ICE” berarti solidaritas terhadap imigran dan minoritas. Namun bagi pihak lain, ucapan itu dianggap serangan langsung terhadap lembaga pemerintah yang menjalankan hukum negara.
Di sinilah letak kontroversinya: apakah musisi punya ruang untuk menyampaikan kritik politik sekeras itu di atas panggung hiburan?
Sepanjang sejarah musik pop, panggung selalu menjadi lebih dari sekadar tempat untuk bernyanyi atau menghibur. Ia adalah ruang ekspresi sosial dan politik, tempat di mana para musisi menyalurkan pandangan, keresahan, dan perlawanan terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil.
Kita bisa menengok ke belakang: Madonna pernah menuai kritik tajam karena menyinggung isu agama dalam tur legendarisnya, Blond Ambition (1990). Kendrick Lamar menghadirkan penampilan penuh simbolisme saat membawakan lagu “Alright” di ajang Grammy 2016, menyoroti ketidakadilan rasial di Amerika Serikat. Sementara Beyoncé dan Lady Gaga kerap memasukkan pesan politik dan sosial ke dalam konser maupun video musik mereka, mulai dari feminisme hingga hak sipil.
Dalam konteks itu, ketika Chappell Roan berteriak “F— ICE” di atas panggung, ia sebenarnya sedang melanjutkan tradisi panjang para seniman yang menjadikan musik sebagai alat perlawanan dan penyampaian pesan. Bedanya, di era digital seperti sekarang, setiap tindakan di panggung bisa langsung terekam, dibagikan, dan ditanggapi oleh jutaan orang dalam hitungan detik.

Respons dari public bahkan dari lembaga pemerintah seperti Homeland Security tidak lagi membutuhkan waktu berhari-hari untuk muncul. Semua terjadi secara real-time, memperlihatkan bagaimana batas antara seni, opini pribadi, dan politik kini semakin kabur.
Tak sedikit pula pihak yang membela ICE (Immigration and Customs Enforcement) dan menilai ucapan Chappell Roan sebagai tindakan yang terlalu ekstrem. Beberapa akun serta organisasi yang mendukung imigrasi legal menegaskan bahwa lembaga tersebut memiliki peran penting dalam menindak pelaku perdagangan manusia, penyelundupan, serta kejahatan lintas negara yang sering kali luput dari sorotan publik. Menurut mereka, seruan seperti “F— ICE” berpotensi menyesatkan masyarakat yang tidak memahami kompleksitas sistem dan hukum imigrasi di Amerika Serikat.
Di sisi politik, beberapa politisi konservatif juga ikut angkat suara. Mereka menuntut agar Roan menyampaikan permintaan maaf resmi, menyebut aksinya sebagai bentuk “upaya merusak kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum”.
Kontroversi ini pun meluas, menempatkan Roan di tengah perdebatan yang lebih besar antara kebebasan berekspresi dan batas tanggung jawab publik seorang figur terkenal.
Namun hingga kini, Chappell Roan belum memberikan pernyataan lanjutan mengenai insiden tersebut. Satu-satunya respons yang muncul hanyalah unggahan foto dirinya di atas panggung Rose Bowl, dengan caption singkat namun penuh makna: “Freedom of art. Freedom of voice”. Kalimat itu seolah menjadi pesan tersirat bahwa baginya, seni dan suara adalah ruang kebebasan yang tidak seharusnya dibungkam.
Jika ditarik ke konteks yang lebih luas, hubungan antara seniman dan pemerintah di Amerika Serikat memang sudah lama berjalan dengan dinamika yang kompleks. Sepanjang sejarah, banyak musisi yang pernah bersinggungan langsung dengan otoritas karena karya atau pernyataan politik mereka. Bob Dylan dan John Lennon, misalnya, pernah menjadi target pengawasan FBI pada era 1960–1970-an karena lagu-lagu protes mereka yang dianggap menghasut massa dan menentang kebijakan perang Vietnam.
Di era berikutnya, musisi seperti Eminem dan Rage Against The Machine juga sering berhadapan dengan kritik dari pejabat negara akibat lirik mereka yang tajam dan menantang kekuasaan. Bahkan Taylor Swift, yang dulu dikenal sebagai figur apolitis, kini secara terbuka menyuarakan pandangan liberal dan progresif, mendukung isu kesetaraan gender serta hak minoritas.
Dalam konteks ini, Chappell Roan hanyalah bab terbaru dalam sejarah panjang interaksi antara musik dan politik di Amerika. Aksi dan ucapannya di atas panggung mencerminkan bagaimana para seniman, terutama generasi muda, terus menjadikan seni sebagai medium untuk menyampaikan pendapat, menggugah kesadaran sosial, dan menantang struktur kekuasaan yang mereka anggap tidak adil. Perbedaannya, di era digital yang serba cepat, setiap gestur dan kata yang diucapkan kini bisa langsung menjadi isu nasional membuat garis antara ekspresi artistik dan pernyataan politik semakin tipis dari sebelumnya.
Pada akhirnya, kontroversi ini mungkin akan lewat, tapi dampaknya akan bertahan. Chappell Roan bukan hanya membuat headline ia memantik percakapan besar tentang kebebasan, keberanian, dan batas ekspresi di era digital.
Bagi banyak orang, ia kini bukan sekadar penyanyi pop eksentrik, melainkan simbol keberanian generasi baru yang menolak diam di hadapan ketidakadilan. Entah setuju atau tidak dengan ucapannya, satu hal jelas: malam di Rose Bowl itu akan diingat sebagai momen di mana panggung musik berubah jadi mimbar politik dan dunia mendengarkan.








