Dakota Johnson Ungkap “Love-Hate Relationship” dengan Dunia Akting dan Produksi

2
Sumber: gettyimages

Dakota Johnson aktris dan produser yang telah lama malang-melintang di Hollywood kembali mencuri perhatian setelah mengungkapkan pergulatan batin yang selama ini ia pendam. Dalam sebuah wawancara terbaru, Johnson secara jujur membeberkan bahwa di balik kariernya yang terlihat bersinar, terdapat dinamika emosional yang kompleks. Ia mengaku memiliki hubungan “love-hate relationship” dengan pekerjaannya, baik saat berada di depan kamera maupun ketika duduk di kursi produser.

Menurut Johnson, sebagian besar dilema itu muncul karena ia harus berhadapan langsung dengan sisi kelam industri film mulai dari tekanan produksi hingga keberadaan para “financier” yang sering kali menunjukkan perilaku meragukan dan tidak transparan. Situasi-situasi inilah yang membuatnya kerap merasa terjebak antara passion terhadap seni peran dan kenyataan pahit yang harus ia hadapi di balik layar.

Dalam sesi “In Conversation” di Red Sea International Film Festival (RSIFF) akhir pekan lalu, Dakota Johnson membagikan perspektif jujur tentang perbedaan besar antara dunia akting dan produksi yang kini ia geluti. Ia menjelaskan bahwa ketika hanya berperan sebagai aktris, dirinya berada dalam sebuah “gelembung” kreatif ruang aman yang memungkinkan ia fokus pada karakter, emosi, serta proses penceritaan tanpa terlalu memikirkan kerumitan di balik layar.

Sumber: gettyimages

Namun, pengalaman itu berubah drastis ketika ia mulai terlibat sebagai produser. Johnson menggambarkan peralihan tersebut sebagai momen di mana “tirai” industri film terangkat, memperlihatkan sisi-sisi yang jarang diketahui public adanya konflik kepentingan, tekanan finansial yang intens, tarik-ulurnya keputusan kreatif, hingga ketidakjujuran yang kadang harus ia hadapi dari pihak investor.

Ia bahkan mengaku, “When you’re producing, you truly see what’s happening behind the scenes, and it’s not always pretty. Financiers can be very questionable in their intentions, and sometimes it’s truly heartbreaking”. Pernyataan itu menunjukkan bahwa menjadi produser tidak hanya soal mengatur jalannya produksi, tetapi juga menanggung beban emosional dan moral yang lebih berat. Mulai dari bersinggungan dengan investor yang tidak transparan, memastikan proyek tetap berjalan, sampai mempertahankan integritas kreatif di tengah tekanan finansial yang tak jarang terasa “kejam”.

Dengan kata lain, dunia produksi membuka mata Johnson terhadap realitas pahit yang tersembunyi di balik glamor Hollywood sebuah pengalaman yang menguji keteguhan hatinya sebagai pekerja seni.

Meski menghadapi berbagai tantangan, Dakota Johnson tidak serta-merta menjauh dari dunia yang sudah membesarkan namanya. Ia justru mengakui bahwa hubungan “love-hate relationship” yang ia rasakan terhadap industri film muncul dari kombinasi dua sisi emosional yang sama kuatnya.

Di satu sisi, Johnson kerap merasa lelah dan kecewa. Ia harus berhadapan dengan sisi gelap industri mulai dari dinamika rumit di balik layar, keterlibatan dalam proyek yang tidak selalu sejalan dengan prinsipnya, hingga situasi kerja yang kadang terasa menyakitkan. Ia menegaskan bahwa baik sebagai produser maupun aktris, pengalaman itu bisa memberikan luka yang sama. “As a producer, it can be very heartbreaking. As an actress, it can be heartbreaking”, ungkapnya, menggambarkan betapa beratnya tekanan emosional yang sering ia hadapi.

Sumber: gettyimages

Namun di sisi lain, Johnson tetap merasakan kebahagiaan dan pemenuhan kreatif yang mendalam. Ia menikmati kesempatan untuk mengekspresikan sisi artistiknya, memilih proyek yang benar-benar mencerminkan suaranya, serta menggali lapisan pribadi yang mungkin tidak terlihat oleh publik. Produksi film memberinya ruang lebih luas untuk membentuk cerita, sementara akting memberi kesempatan baginya untuk terhubung secara emosional dengan karakter dan penonton.

I feel fortunate to be able to do both,” ujarnya. “Producing and acting are both deeply fulfilling”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa meskipun industri ini penuh tantangan, Johnson tetap menemukan alasan untuk bertahan karena justru di tengah kompleksitas itulah ia merasa hidup sebagai seorang seniman.

Langkah Dakota Johnson terjun ke dunia produksi bukanlah keputusan mendadak. Ia membawa pengalaman panjang sejak masa kecilnya, ketika ia tumbuh di tengah keluarga seniman dan terbiasa menyaksikan langsung kehidupan di balik layar. Lahir dari orang tua yang berprofesi sebagai aktor dan aktris, Johnson sejak dini sudah akrab dengan proses kreatif, dinamika set lokasi, hingga cara sebuah cerita dilahirkan. Lingkungan inilah yang perlahan membentuk rasa ingin tahunya terhadap aspek produksi film.

Seiring waktu, keinginan Johnson untuk memiliki kontrol lebih besar terhadap cerita yang ia bawa ke layar semakin kuat. Bersama sahabatnya, Ro Donnelly, ia kemudian mendirikan TeaTime Pictures, sebuah rumah produksi yang berfokus pada cerita-cerita manusia yang intim khususnya narasi tentang perempuan, perjalanan emosional, dan perkembangan personal. Melalui TeaTime, Johnson ingin menciptakan proyek yang bukan hanya menghibur tetapi juga punya kedalaman dan perspektif yang relevan. TeaTime Pictures telah menghasilkan sejumlah karya yang mendapat perhatian, di antaranya:

  • Splitsville (2025)
  • Daddio (2023)
  • Am I OK? (2022)
  • Cha Cha Real Smooth (2022) yang sukses mencuri perhatian di Sundance dan menguatkan reputasi Johnson sebagai produser yang memiliki visi kuat.

Kini, TeaTime memasuki babak baru dengan memproduksi debut penyutradaraan Dakota Johnson sendiri berjudul A Tree Is Blue. Proyek ini menjadi bukti ambisinya untuk terus memperluas eksplorasi artistik, tidak hanya sebagai aktris atau produser tetapi juga sebagai sutradara yang memiliki suara dan gaya bercerita unik.

Johnson mengenang sejumlah proyek yang memiliki tempat khusus dalam perjalanan kariernya bukan karena gemerlap popularitas atau statusnya sebagai film besar, melainkan karena pengalaman intim dan proses kreatif yang membentuk dirinya sebagai seniman.

Sumber: gettyimages

Dalam The Peanut Butter Falcon (2019), ia mengingat suasana syuting yang begitu hangat, hingga terasa seperti berada dalam sebuah “keluarga kecil”. Ia merasakan kebersamaan yang tulus, dukungan dari para kru, serta chemistry natural dengan para pemain lain, yang membuat proyek ini menjadi salah satu pengalaman paling menyentuh dalam hidupnya sebagai aktris.

Kerja samanya dengan Luca Guadagnino dalam A Bigger Splash (2015) dan Suspiria (2018) juga menjadi titik penting dalam perkembangan artistiknya. Johnson merasa bahwa Guadagnino mampu “melihatnya” secara mendalam sebagai seorang performer bukan hanya memberikan arahan, tetapi membuka ruang baginya untuk menggali emosi, intuisi, dan kedalaman karakter. Kolaborasi itu, menurutnya, memperkaya cara ia memaknai seni peran.

Sementara itu, bekerja bersama Maggie Gyllenhaal dalam The Lost Daughter (2021) menjadi pengalaman yang membuka pintu baru dalam eksplorasi emosinya. Johnson dipaksa untuk keluar dari zona nyamannya, menembus batasan yang sebelumnya belum pernah ia sadari, dan menghadapi lapisan-lapisan diri yang jauh lebih personal. Ia menyebut proyek ini sebagai salah satu momen transformasional dalam hidupnya.

Keseluruhan pengalaman tersebut menjadi pengingat bagi Johnson bahwa di balik kerasnya kompetisi dan tekanan industri film, masih ada sisi lain yang penuh keindahan seni yang jujur, kerja sama yang tulus, dan kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang bermakna. Hal-hal inilah yang terus menyalakan semangatnya untuk bertahan dan berkarya.

Dakota Johnson menunjukkan sikap optimistis ketika berbicara tentang masa depan karier dan visi artistiknya. Lewat TeaTime Pictures, ia bertekad terus melahirkan proyek-proyek yang berkarakter kuat film yang berani menantang standar industri, jujur dalam penceritaan, dan menghadirkan pengalaman emosional yang beresonansi pada penonton. Fokusnya tetap konsisten menampilkan kisah manusia yang autentik, terutama perspektif perempuan yang sering kali kurang terwakili dalam sinema arus utama.

Keputusan Johnson untuk mengambil langkah lebih jauh dengan menyutradarai film “A Tree Is Blue” menjadi bukti nyata ambisinya. Langkah ini menandakan bahwa ia tidak hanya ingin puas berada di depan kamera atau sekadar memfasilitasi proyek sebagai produser. Ia ingin menyentuh seluruh proses kreatif mulai dari merumuskan ide, membangun struktur narasi, hingga mengawasi bagaimana visi artistik tersebut diwujudkan di layar. Bagi Johnson, penyutradaraan adalah evolusi alami dari kecintaannya pada seni bercerita.

Melalui pendekatan tersebut, Johnson berharap dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi industri film. Ia ingin membantu menciptakan ruang bagi karya-karya yang memiliki jiwa, unik, dan berani mengambil risiko artistic film-film yang tidak sekadar mengejar keuntungan finansial atau tren pasar. Dengan cara inilah Johnson berupaya “menggeser jarum” industri, mendorong Hollywood untuk lebih menghargai cerita yang bermakna, autentik, dan melampaui batas-batas konvensional.

Perjalanan Dakota Johnson di industri film terbukti penuh liku dan jauh dari gambaran glamor yang sering terlihat di permukaan. Ia harus bergulat dengan tekanan emosional, dinamika finansial yang keras, serta dilema etis yang muncul saat terlibat langsung dalam proses produksi. Namun, tantangan-tantangan itu tidak pernah menghentikannya untuk terus berkarya. Justru sebaliknya, pengalaman tersebut memperkuat komitmennya untuk menciptakan film yang autentik dan sarat makna.

Di tengah badai itu, Johnson tetap memelihara cintanya pada seni. Ia terus mendorong batas kreativitasnya, memilih cerita yang benar-benar ingin ia sampaikan, dan membuktikan bahwa film bisa menjadi wadah penting untuk memahami, merefleksikan, dan merayakan pengalaman manusia. Hubungan “love-hate relationship” yang ia rasakan bukanlah tanda kemunduran, melainkan cermin dari kedewasaannya dalam menghadapi kenyataan industry menyadari sisi pahitnya, namun tetap menemukan alasan untuk bertahan dan berkembang.

Pada akhirnya, langkah Johnson untuk melihat lebih dalam ke balik layar bukan semata-mata untuk mengungkap sisi gelap industri film, tetapi juga untuk membuka jalan bagi karya-karya yang lebih jujur, berani, dan beresonansi dengan penonton. Dedikasinya menunjukkan bahwa bahkan dalam lingkungan yang penuh tekanan, masih ada ruang bagi integritas, visi, dan seni yang mampu meninggalkan jejak emosional mendalam.