Leonardo DiCaprio kini identik dengan kualitas akting tinggi, kepedulian lingkungan, dan status sebagai salah satu aktor paling berpengaruh di Hollywood. Namun, sebelum mencapai puncak kejayaan, ia menghadapi tantangan unik: namanya sendiri dianggap penghalang. Dalam sebuah wawancara di podcast New Heights, DiCaprio mengungkap bahwa seorang agen pernah menyarankan agar ia mengganti namanya menjadi Lenny Williams dengan alasan “Leonardo DiCaprio terlalu etnis” dan sulit diterima industri film Amerika.
Kisah ini mengejutkan banyak penggemar. Bagaimana mungkin seorang aktor yang kini dianggap ikon global hampir kehilangan identitasnya hanya karena nama? Untuk memahami hal ini, kita perlu menelusuri lebih jauh konteks sejarah Hollywood, diskriminasi berbasis nama, serta bagaimana pengalaman tersebut justru membentuk identitas karier DiCaprio.
Kejadian ini berlangsung pada awal 1990-an ketika Leonardo masih remaja yang baru memulai karier akting. Ia lahir di Los Angeles tahun 1974 dari ayah berdarah Italia-Jerman, George DiCaprio, dan ibu berdarah Jerman, Irmelin Indenbirken. Nama Leonardo sendiri diberikan karena sang ibu merasakan tendangan janin ketika sedang mengagumi lukisan karya Leonardo da Vinci di museum Italia. Namun, identitas unik ini justru dianggap masalah oleh seorang agen.
Menurut cerita DiCaprio, setelah melihat nama belakangnya, agen itu berkata bahwa tidak ada orang yang akan mempekerjakannya dengan nama seperti itu, karena dianggap terlalu etnis, dan ia harus menggantinya menjadi Lenny Williams. Ayahnya langsung marah, menolak gagasan tersebut, bahkan merobek headshot yang sudah dicetak dengan nama baru. Sikap sang ayah terbukti sangat berpengaruh karena tanpa kompromi, ia memastikan anaknya tetap tampil dengan nama aslinya.
Kasus DiCaprio bukanlah hal baru. Sejak era emas Hollywood, banyak aktor yang “dipaksa” mengganti nama agar terdengar lebih Amerika atau lebih sederhana. Beberapa contoh terkenal antara lain Marion Morrison yang berubah menjadi John Wayne, Issur Danielovitch menjadi Kirk Douglas, Natalia Nikolaevna Zakharenko menjadi Natalie Wood, Frances Gumm menjadi Judy Garland, dan Carlos Estevez menjadi Charlie Sheen.

Praktik ini didorong oleh anggapan bahwa nama asing atau “etnis” bisa menyulitkan pemasaran film, terutama bagi audiens mayoritas kulit putih Amerika pada abad ke-20. Nama yang lebih pendek, mudah diucapkan, dan terdengar “netral” dianggap memiliki peluang lebih besar untuk diterima publik. Leonardo DiCaprio hampir saja masuk ke dalam daftar panjang ini, tetapi berkat penolakan sang ayah serta keyakinannya sendiri, ia tetap mempertahankan nama aslinya.
Nama dalam industri hiburan seringkali dipandang sebagai sebuah merek dagang. Agen dan produser menganggap nama yang mudah diingat akan sangat membantu dalam promosi film, iklan, maupun penjualan tiket. Namun, di balik itu ada sisi gelap yang tidak bisa diabaikan. Pertama, terdapat bias kultural, di mana nama dianggap sebagai representasi identitas budaya, sehingga nama yang terdengar “asing” kerap menimbulkan stereotip atau bahkan diskriminasi.
Kedua, ada dorongan menuju keseragaman pasar, karena di masa lalu Hollywood cenderung menstandarkan aktor agar sesuai dengan selera pasar dominan. Ketiga, praktik pergantian nama juga memperlihatkan besarnya kontrol identitas, yakni bagaimana agen atau studio memiliki kuasa untuk memengaruhi bahkan menentukan aspek personal dari kehidupan seorang aktor.
Bayangkan jika Leonardo benar-benar tampil dengan nama Lenny Williams. Mungkin saja kariernya tetap berkembang, tetapi ia akan kehilangan ciri khas yang kini melekat pada brand Leonardo DiCaprio. Nama tersebut saat ini identik dengan kualitas akting, deretan film besar, dan juga aktivisme lingkungan yang ia perjuangkan. Ada kemungkinan besar bahwa jika ia mengganti namanya, ia tidak akan memiliki pengaruh global yang sama, sebab nama uniknya merupakan bagian penting dari identitas publik sekaligus daya tarik yang membedakannya dari aktor lain.
Sejumlah momen penting dalam perjalanan karier Leonardo DiCaprio membuktikan bahwa sang agen salah besar. Pada tahun 1993, penampilannya yang memukau sebagai Arnie Grape dalam What’s Eating Gilbert Grape membuatnya meraih nominasi Oscar pertamanya dan mulai dikenal luas. Tiga tahun kemudian, melalui Romeo + Juliet (1996), statusnya sebagai bintang muda semakin kokoh. Namun, puncak popularitasnya datang lewat Titanic (1997), film yang menjadikan nama “Leonardo DiCaprio” dikenal hampir di seluruh dunia. Setelah perjalanan panjang, akhirnya pada tahun 2016 ia berhasil meraih Oscar Aktor Terbaik lewat The Revenant. Semua pencapaian besar tersebut diraih dengan nama asli yang dulu sempat dianggap “terlalu etnis”.

Meskipun era telah berubah, tekanan untuk menyesuaikan identitas masih tetap ada di berbagai level industri hiburan. Beberapa aktor generasi baru memang masih memilih mengganti nama demi memperbesar peluang kesuksesan, tetapi kini semakin banyak pula yang justru merayakan keaslian identitas mereka. Misalnya, Riz Ahmed tetap mempertahankan nama aslinya dan berhasil menjadi salah satu aktor Muslim paling terkenal di Hollywood, sementara Awkwafina memilih nama panggung yang unik namun tetap menonjolkan identitas Asia-Amerika yang ia bawa. Hal ini menunjukkan bahwa industri hiburan memang semakin terbuka terhadap keberagaman, meski kisah seperti yang dialami DiCaprio menjadi pengingat bahwa bias lama sebenarnya belum sepenuhnya hilang.
Ada beberapa pelajaran berharga yang bisa dipetik generasi baru dari kisah Leonardo DiCaprio. Pertama, identitas adalah kekuatan karena nama merupakan bagian dari sejarah dan budaya keluarga, sehingga menggantinya mungkin terlihat praktis tetapi bisa mengorbankan nilai jangka panjang. Kedua, diperlukan keberanian untuk menolak tekanan, sebagaimana ditunjukkan oleh dukungan sang ayah yang menegaskan pentingnya menjaga identitas anaknya. Ketiga, kesuksesan tidak harus mengorbankan jati diri, sebab perjalanan karier DiCaprio membuktikan bahwa pasar tetap bisa menerima siapa saja yang berbakat, apa pun nama yang mereka bawa.
Perjalanan Leonardo DiCaprio mengajarkan kita bahwa identitas, bahkan yang dianggap penghalang, bisa menjadi kekuatan terbesar. Jika ia menyerah pada tekanan agen dan memakai nama Lenny Williams, mungkin dunia tidak akan mengenal ikon bernama Leonardo DiCaprio seperti sekarang.
Kisah ini lebih dari sekadar anekdot; ia adalah refleksi tentang bagaimana industri hiburan membentuk, menekan, sekaligus memberi peluang pada talenta. Yang pasti, nama “Leonardo DiCaprio” kini bukan hanya sekadar nama tetapi simbol keaslian, integritas, dan pencapaian global








