Perjalanan karier Rafi Sudirman bukan sekadar kisah tentang tumbuh besar di dunia musik, melainkan tentang pencarian jati diri, keberanian menghadapi ketidakpastian, serta proses panjang menemukan kejujuran dalam berkarya. Dari pertama kali jatuh cinta pada musik hingga tanpa sengaja melangkah ke dunia akting, Rafi terus belajar memahami dirinya, termasuk hal-hal yang ia takuti dan mimpinya yang kini tumbuh jauh lebih besar.
Benih cinta Rafi pada musik mulai tumbuh sekitar tahun 2014–2015, ketika ia berusia 12–13 tahun. Saat itu, ia gemar mendengarkan Bruno Mars, sekaligus mengagumi karya musisi legendaris Indonesia, Erwin Gutawa. Ketertarikannya pada musik membawa Rafi bergabung dalam project “Di Atas Rata-Rata”, kesempatan yang akhirnya mempertemukannya dengan nama-nama hebat seperti Gita Gutawa, Lyodra, dan musisi muda berbakat lainnya. Dari lingkungan itulah Rafi merasa musik bukan lagi sekadar hobi. Ia belajar dari orang-orang yang ia idolakan, merasakan atmosfer kreatif yang menyala, dan sejak saat itu ia tahu bahwa musik adalah bagian penting dari hidupnya.
Jika harus menyebut satu nama yang paling mempengaruhi perjalanan kariernya, Rafi selalu kembali pada satu sosok Erwin Gutawa. Baginya, tanpa peran sang komponis senior itu, barangkali ia tidak akan menjadi musisi seperti sekarang. Erwin Gutawa bukan hanya guru, tetapi juga pembuka pintu, mengenalkan dunia industri, mengajarkan cara membangun relasi, hingga membantu Rafi memahami bahwa musisi tidak hanya soal teknik, tetapi juga soal keberanian hadir di tengah komunitas kreatif.
Memasuki usia dewasa, Rafi mulai menyadari bahwa kenyamanan justru bisa menghambat proses kreatifnya. Ia pernah berada di bawah naungan besar yang membuatnya merasa aman, namun lama-kelamaan ia merasa kehilangan rasa kepemilikan terhadap karya-karyanya.
Akhirnya, ia memutuskan kembali berjalan sendiri, membangun tim, membangun ritme, dan menentukan arah kariernya sendiri. Dari situ ia menemukan sense of belonging yang lebih kuat terhadap musik yang ia buat. Ketidaknyamanan itu justru membuka mata Rafi bahwa perkembangan terbesar sering datang dari fase-fase sulit.
Bagi Rafi, kunci dari musik yang baik hanyalah satu kejujuran. Dulu ia merasa harus membuktikan kemampuan bahwa ia bisa memainkan banyak alat musik, bisa bernyanyi dengan teknik tertentu, atau harus terdengar keren. Tapi kini pandangannya berubah total. Ia bertanya pada dirinya sendiri “Apa gunanya kalau lagu itu tidak jujur? Apa manfaatnya jika musik yang kita buat tidak benar-benar menggambarkan apa yang kita rasakan?”. Dalam prosesnya, ia banyak berdiskusi dengan musisi-musisi besar seperti Tohpati, Rendy Pandugo, Teddy Adhitya, Petra Sihombing, hingga produser sekaligus sahabatnya, Farel Cahyono. Mereka membantunya menemukan suara, keberanian, sekaligus arah musikalitas yang lebih matang. Para guru yang mengajarinya saksofon dan gitar juga menjadi bagian penting dalam perjalanan itu.
Rafi tidak pernah membayangkan dirinya akan berakting. Semuanya bermula ketika ia sekadar menemani temannya casting. Saat turun dari mobil, sutradara Rudi Soedjarwo langsung menunjuk wajah Rafi dan berkata bahwa ia punya “muka tengil”. Rafi diminta reading, meski belum pernah berakting sama sekali. Beberapa kali mencoba, ia tetap belum bisa. Namun ketika proses reading selesai, sang sutradara mengulurkan tangan dan mengatakan bahwa Rafi terpilih menjadi pemeran utama. Yang awalnya hanya niat menemani teman, berubah menjadi kesempatan besar yang tidak bisa ia lewatkan. Ia merasa itu seperti panggilan alam semesta kesempatan yang harus ia ambil, bukan ia pilih. Rafi pun bersyukur bisa bekerja bersama nama-nama besar seperti Mira Lesmana dan Riri Riza.
Jujur di musik vs jujur di acting apa bedanya? Sampai hari ini, Rafi mengaku masih mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Baginya, baik dalam musik maupun akting, kejujuran selalu muncul dari satu sumber yang sama, perasaan yang hadir pada saat itu tanpa dibuat-buat. Ia percaya bahwa pendengar dan penonton dapat merasakan ketulusan tersebut, karena keaslian emosi tidak pernah bisa disembunyikan. Meskipun mediumnya berbeda, bagi Rafi kejujuran tetap bersifat universal.
Lebih sulit mana, jujur lewat musik atau memerankan orang lain? Bagi Rafi, tantangan terbesar pada usia 17 tahun justru muncul ketika ia harus memerankan karakter yang sama sekali bukan dirinya. Dengan pengalaman hidup yang masih minim dan dunia yang belum sepenuhnya ia pahami, menjalani peran tersebut terasa sangat berat. Namun seiring bertambahnya usia, ia mulai memahami bahwa banyak orang, termasuk dirinya sering kali tidak tahu akan menjadi apa dalam 10 tahun ke depan, dan hal itu sepenuhnya wajar. Menurut Rafi, proses pencarian dan kebingungan itu memang harus dilewati agar setiap orang dapat menemukan apa yang sebenarnya mereka inginkan dan ke mana mereka ingin melangkah dalam hidup.
Suara berkarakter, bakat atau latihan? Sebagai mantan penyanyi cilik, Rafi pernah merasa takut menghadapi perubahan suara saat pubertas, bahkan sampai berdoa agar vokalnya kelak bisa menyerupai Brian McKnight. Meskipun tidak sepenuhnya terjadi, sugesti dari musik yang ia dengarkan dan nyanyikan pada masa itu turut membentuk warna suaranya yang khas hari ini. Rafi pun mengakui bahwa karakter vokalnya tidak hanya datang dari bawaan lahir, tetapi juga hasil dari latihan panjang yang ia jalani dan hingga kini ia tidak pernah berhenti berlatih.
Ketika pertama kali merilis karya, mimpinya sederhana, melihat namanya terpampang di platform digital. Itu saja sudah cukup baginya kala itu. Namun seiring tumbuh, panggung demi panggung ia jalani, dan ia menyadari bahwa mimpinya berkembang lebih besar. Kini, ia ingin lagu-lagunya menemani orang dalam berbagai fase hidup senang, sedih, bingung, jatuh, maupun bangkit. Ia ingin musiknya menjadi ruang aman bagi banyak orang.
Menjaga kebebasan kreatif di era serba angka menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Rafi. Di tengah industri yang kini mengukur kesuksesan lewat angka mulai dari views, streams, hingga likes ia merasa kejujuran hanya bisa dijaga jika semua metrik itu dikesampingkan. Rafi pun sering bertanya pada dirinya sendiri, “Kalau tidak ada penonton dan tidak ada angka, apakah aku tetap akan menulis lagu? Tetap bernyanyi untuk diriku sendiri?” Jika jawabannya adalah iya, maka ia tahu bahwa kecintaannya terhadap musik bersifat murni, bukan karena validasi. Bahkan jika suatu hari ia tidak lagi menjadi musisi, Rafi yakin ia tetap akan menulis lagu, bernyanyi, dan memainkan gitar di kamarnya, karena di situlah hatinya berada.
Karya yang paling mewakili dirinya saat ini bagi Rafi adalah album terbarunya, “Hari Ini, Esok dan Selamanya”, yang ia anggap sebagai representasi paling jujur dari dirinya. Album tersebut berisi rangkaian doa, harapan, serta perjalanan emosional yang menggambarkan hidupnya, mulai dari hubungan keluarga, keraguan akan masa depan, hingga ketakutan-ketakutan yang diam-diam ia simpan. Tidak sekadar bercerita tentang cinta, karya ini menghadirkan potret utuh tentang dinamika manusia yang ia rasakan dan jalani setiap hari.
Ide gila yang ingin ia wujudkan ialah untuk suatu hari tampil di panggung besar bersama sebuah paduan suara yang membawakan lagu-lagunya. Ia membayangkan harmoni megah yang mengisi ruang pertunjukan dan bagaimana energi kolektif itu akan menciptakan pengalaman tak terlupakan. Bagi Rafi, itu bukan sekadar mimpi panggung, tetapi sebuah momen yang ingin ia rasakan secara langsung sebagai bentuk ekspresi musik yang lebih luas dan dramatis.
Apa yang dibawanya sebagai representasi Gen Z? Menurut Rafi, hal yang paling ia wakili dari generasinya adalah rasa takut terhadap waktu kecemasan bahwa segala sesuatu dapat berubah kapan saja. Ia sendiri merasakan ketidakpastian tentang masa depan, baik dalam hidup, karier, maupun urusan personal. Namun alih-alih terjebak dalam kegelisahan, ia memilih untuk melihatnya dari sudut yang lebih positif menyalurkan perasaan itu melalui musik yang bisa menemani perjalanan hidup orang lain, perjalanan panjang yang, menurutnya, “tidak pernah ada habisnya”.
Perjalanan Rafi Sudirman adalah cerita tentang tumbuh, tersesat, menemukan diri, lalu tumbuh lagi. Tentang ketakutan yang tidak ia sembunyikan, tentang kejujuran yang ia kejar dalam setiap karya, dan tentang musik sebagai ruang di mana ia benar-benar merasa hidup.
Melalui suara, tulisan, dan karakter yang ia mainkan, Rafi terus membangun jalannya sendiri langkah demi langkah, dengan keberanian untuk tetap menjadi dirinya. Jika satu hal yang ia inginkan dari musiknya, itu sederhana menemani orang-orang hari ini, esok, dan semoga selamanya.
- Hilton Indonesia Perkuat Kemitraan & Hadirkan Solusi Pertemuan Inovatif di Hilton Connect 2025 - Dec 12, 2025
- Perjalanan Rafi Sudirman, Dari Musik ke Film Hingga Menemukan Jati Diri - Dec 12, 2025
- Kreativitas Generasi Muda Meledak di ESMOD Jakarta Creative Show 2025, Publik dan Industri Terpukau - Dec 11, 2025






