Taylor Swift atau Coldplay? Persaingan Rekor Tur Musik Terbesar Sepanjang Masa

58
Sumber: NME

Industri musik live selalu menjadi panggung utama di mana artis membuktikan skala pengaruhnya. Seiring berubahnya cara orang mendengarkan musik dari kaset, CD, hingga streaming konser tetap menjadi bentuk hiburan yang paling kuat. Dua nama yang kini paling sering diperbincangkan terkait rekor tur terbesar adalah Taylor Swift dengan The Eras Tour dan Coldplay dengan Music of the Spheres World Tour.

Kedua tur ini bukan sekadar rangkaian konser, melainkan fenomena budaya global. Mereka mengubah standar produksi panggung, mencetak rekor keuangan, dan memberikan dampak ekonomi besar di berbagai kota. Lalu, siapakah yang benar-benar memegang gelar sebagai “Tur Musik Terbesar Sepanjang Masa”?

Sebelum membandingkan Swift dan Coldplay, penting untuk melihat sejarah tur besar di industri musik. Tur dunia dalam skala stadion bukan hal baru. The Rolling Stones, U2, hingga Ed Sheeran pernah memegang rekor tur dengan pendapatan ratusan juta dolar. Misalnya, tur Divide milik Ed Sheeran (2017–2019) menghasilkan lebih dari US$776 juta atau sekitar Rp12,03 triliun dengan lebih dari 8 juta penonton.

Namun, apa yang dilakukan Swift dan Coldplay menandai era baru: angka miliaran dolar bukan lagi mustahil, penjualan tiket bisa mencapai belasan juta, dan efek ekonomi terhadap kota tuan rumah setara dengan penyelenggaraan event olahraga besar seperti Olimpiade mini.

The Eras Tour milik Taylor Swift berlangsung dari Maret 2023 hingga Desember 2024 dengan total 149 pertunjukan yang tersebar di lima benua. Tur ini mencetak rekor sebagai yang terbesar sepanjang sejarah musik live, dengan pendapatan sekitar US$2,1–2,2 miliar atau sekitar Rp32,5-34,1 triliun dan lebih dari 10 juta tiket terjual.

Keunikan konser ini terletak pada konsepnya yang dibagi berdasarkan setiap “era” album Swift, menghadirkan pengalaman nostalgia sekaligus teatrikal. Dalam setiap malam pertunjukan, Swift tampil lebih dari tiga jam dengan membawakan lebih dari 40 lagu, menjadikannya salah satu konser paling panjang dan intens yang pernah ada. Dampak budaya dari tur ini sangat besar; tiket yang sulit diperoleh menciptakan fenomena viral di media sosial, sementara para penggemar atau Swifties menjadikannya sebagai momen istimewa dengan tradisi unik seperti bertukar gelang persahabatan (friendship bracelets).

Sementara itu, Music of the Spheres World Tour milik Coldplay dimulai sejak Maret 2022 dan masih akan berlangsung hingga September 2025 dengan lebih dari 170 pertunjukan yang sudah terjadwal. Hingga akhir 2024, pendapatan tur ini diperkirakan telah melampaui US$1,3 miliar atau sekitar Rp20,15 triliun, dan angka tersebut diproyeksikan dapat mencapai US$1,8 miliar atau sekitar Rp27,9 triliun pada penutup 2025. Dari sisi jumlah penonton, Coldplay bahkan memegang rekor dengan sekitar 10,3 juta tiket terjual, menjadikannya tur dengan kehadiran terbesar sepanjang sejarah.

Pertunjukan Coldplay dikenal penuh warna dengan gelang LED yang menyala sesuai irama musik, kembang api spektakuler, dan layar raksasa interaktif yang menciptakan pengalaman imersif. Tidak hanya itu, band asal Inggris ini juga menekankan aspek keberlanjutan melalui konsep “tur hijau” dengan mengurangi emisi karbon, memanfaatkan energi terbarukan, serta mendaur ulang bahan panggung. Dampak budayanya pun signifikan, karena Coldplay berhasil menciptakan konser yang ramah keluarga, menarik penonton dari berbagai generasi untuk bersama-sama menikmati musik mereka.

Sumber: People.com

Kehadiran tur musik raksasa seperti The Eras Tour dan Music of the Spheres bukan hanya memberikan keuntungan besar bagi artisnya, tetapi juga bagi kota penyelenggara. Dalam kasus Taylor Swift, berbagai studi ekonomi lokal di Amerika Serikat menunjukkan bahwa setiap konser mampu menambah pendapatan kota hingga ratusan juta dolar. Sebagai contoh, konser di Chicago pada 2023 dilaporkan menyumbang lebih dari US$90 juta atau sekitar Rp1,4 triliun ke sektor hotel, restoran, transportasi, dan pariwisata setempat. Fenomena ini bahkan dijuluki media sebagai “Swiftie Stimulus” karena dampaknya yang menyerupai suntikan stimulus ekonomi.

Sementara itu, konser Coldplay juga memberikan efek serupa bagi kota yang mereka kunjungi, meskipun dengan pendekatan berbeda. Band asal Inggris ini membawa pesan keberlanjutan melalui inisiatif lingkungan, seperti menanam pohon untuk setiap tiket terjual, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, hingga menyediakan sepeda statis di arena konser agar penonton bisa ikut menghasilkan energi listrik. Dengan cara ini, Coldplay bukan hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga meningkatkan kesadaran publik terhadap isu lingkungan global.

Perbedaan mencolok juga terlihat dari basis penggemar Taylor Swift dan Coldplay. Fandom Swifties dikenal sangat aktif dan vokal di media sosial, menjadikan konser Swift lebih dari sekadar hiburan, melainkan sebuah ritual budaya yang memperkuat identitas komunitas mereka. Tak heran jika The Eras Tour memicu dampak viral luar biasa, dengan tren media sosial, video viral, hingga ritual pertukaran friendship bracelets yang semakin memperkuat rasa kebersamaan di antara para penggemar.

Di sisi lain, basis penggemar Coldplay jauh lebih beragam dari segi usia. Konser mereka kerap dipandang sebagai pengalaman kebersamaan lintas generasi, di mana orang tua, anak, bahkan kakek-nenek bisa menikmati pertunjukan bersama. Perbedaan karakteristik ini menciptakan dampak budaya yang unik: Swift membangun fenomena kuat di kalangan generasi muda dengan identitas fandom yang solid, sementara Coldplay menekankan inklusivitas dan kehangatan keluarga yang mampu menyatukan berbagai lapisan penonton.

Meskipun media kerap menempatkan Taylor Swift dan Coldplay dalam bingkai perbandingan, kenyataannya keduanya tidak berada dalam posisi saling bermusuhan. Taylor Swift adalah seorang artis solo dengan rekam jejak luar biasa, terutama di era digital di mana ia berhasil menguasai tangga lagu, platform streaming, hingga penjualan tiket konser dengan skala fenomenal.

Di sisi lain, Coldplay tetap menjadi salah satu band rock terbesar yang konsisten mengisi stadion-stadion dunia dengan jutaan penonton dari berbagai generasi. Oleh karena itu, persaingan yang terlihat di mata publik lebih bersifat simbolis daripada kompetitif. Swift merepresentasikan puncak kekuatan artis solo modern dengan basis fandom yang solid dan identitas personal yang kuat, sementara Coldplay menjadi simbol kekuatan kolektif sebuah band yang mampu menciptakan pengalaman bersama di skala global. Dengan begitu, keduanya lebih pantas dipandang sebagai ikon berbeda yang sama-sama memperkaya sejarah musik live dunia, bukan sebagai rival yang saling menjatuhkan.

Persaingan antara Taylor Swift dan Coldplay dalam hal rekor tur musik bukanlah tentang siapa yang lebih baik, melainkan tentang bagaimana keduanya mendorong batasan industri hiburan live. Swift dengan Eras Tour telah mencetak sejarah dengan pendapatan lebih dari US$2 miliar, sedangkan Coldplay dengan Music of the Spheres mencatat jumlah penonton terbesar sepanjang masa.

Keduanya membuktikan bahwa musik live tetap relevan, bahkan di era dominasi streaming. Lebih dari itu, mereka memperlihatkan bagaimana konser bisa menjadi fenomena budaya, penggerak ekonomi, dan sarana menyampaikan pesan baik itu nostalgia perjalanan musik Swift atau komitmen lingkungan Coldplay.